Sesuatu mulai menyerang..
Dan di sinilah aku, menunggu Gio keluar dari sebuah toko setelah tadi di rumah berjam-jam mematut diri di depan kaca dan beberapa kali mengganti pakain agar terlihat nyaman memakainya. Aku merasa bodoh sendiri, padahal yang mau ku temui ini cuma teman tapi entah kenapa aku merasa canggung dan gugup sehingga untuk memutuskan baju yang akan kupakai aja butuh dua jam.
Mataku menunduk memandang flat shoesku yang sedikit berdebu tapi tetap terlihat manis berada di kakiku. Pundakku tiba-tiba ditepuk "Eh..". Badanku refleks bergeser ke kiri dan hampir menabrak orang lain yang sedang berdiri juga di sebelahku.
"Makanya jangan biasain ngelamun kalo lagi sendirian." kata Gio yang tiba-tiba muncul dengan cengirannya.
Bibirku mengerucut "Gi jangan suka bikin kaget dong. Aku gak biasa datang ke sini sendirian, kalo tadi tiba-tiba aku nonjok kamu gimana?"
Gio menarik tanganku sambil berkata "Gak mungkin tangan sekecil itu bisa nonjok orang." Lalu dia melirik ke arah tanganku yang sedang dia pegang. "Ayoo. Laparkan?" tanya lagi.
Dia langsung menyeretku ke dalam lift dan menekan tombol untuk turun. Aku masih menahan nafas, karena tangan kiriku masih ada dalam genggamannya. Otakku gak bisa berpikir jernih, aku hanya mencoba pura-pura fokus melihat ke arah pintu lift yang entah kapan terbukanya. Mana dalam lift ini cuma kami berdua lagi. Triiiing....
Akhirnyaaaa aku bisa bernafas lega, pintu lift terbuka lebar dan banyak orang yang langsung menyerbu ke arah pintu. Gio langsung memegang pundakku dari belakang, mendorong ku pelan agar gak terjepit dengan orang yang mau masuk lift.
Apa jadinya kalo Tya tau aku jalan dengan mantannya atau masih status pacarnya? Ah..entahlah.
Gio duduk di hadapanku, padahal aku berharap dia duduk di sebelahku. Jadi dia gak perlu lihat wajahku yang canggung seperti sekarang ini. Aku mengalihkan pandanganku, menikmati suasana resto yang Gio pilih untuk makan siang ini.
Dia membalik-baik buku menu, lalu menurunkannya sedikit "Ai, mau pesan apa?" bertanya ke arahku. Dengan muka yang masih bingung, aku bertanya kembali "Emang di sini ada apa aja Gi?"
Gio menutup buku menu lalu menyodorkan buku itu ke tanganku "Yang jelas, lontong Liana gak tersedia di sini." bisiknya. Yang langsung ku sambut dengan tertawa geli. Liana itu adalah nama salah satu kantin kami di sekolah. Aku kangen masa-masa itu padahal baru beberapa bulan setelah kelulusan.
Pelayan berdiri di sebelahku dan mencatat pesanan kami. Lalu meminta buku menu dengan ramah dan meninggalkan kami. Diam-diam aku mengamati Gio. Sosok yang gak pernah ku masukkan dalam pikiranku sebagai siapapun termasuk teman.
Dulu, sewaktu sekolah dasar aku dan Gio pernah satu kelas di kelas 5 dan sama-sama murid pindahan. Kami berdua sama-sama merasa asing berada di dalam kelas tersebut. Aku dan Gio hanya kenal begitu aja, apalagi cuma dua tahun berada di sekolah yang sama.
Sekolah menengah pertama, dia pindah ke kota kabupaten. Dan setelah itu semua orang melupakannya termasuk aku. Aku sendiri melanjutkan sekolah tetap di kota kecil kami bersama dengan teman-teman sekelas dulu. Tiga tahun gak pernah mendengar namanya lagi.
Begitu masuk sekolah menengah atas dan udah mau masuk ujian semester 1, anak-anak kelas 1-5 heboh dengan kedatangan anak baru.
Lalu terdengarlah nama Gio Bradley, yang hari pertama masuk sekolah aja udah berani lewat dari tengah lapangan sekolah. Kebetulan di sekolah kami ada satu kebiasaan yang aneh, jadi siapapun yang sengaja atau gak, berjalan dari tengah lapangan maka seluruh penghuni sekolah ramai-ramai akan bertepuk tangan. Lucu sih, tapi itu benar-benar hal yang sangat dihindari, kebayang dong gimana malunya.
Hari itu Gio dengan cueknya berjalan dari tengah lapangan dengan sepatu warna putih dan dengan rambut merahnya yang di model secara acak. Satu sekolah menjadi riuh, berteriak dan tepuk tangan menyambut anak baru yang gak tau aturan main berjalan di tengah lapangan.
Setelah kejadian itu aku jarang melihatnya dan mungkin hanya sesekali kalo dia melewati kelasku saat dipanggil ke kantor BP karena kebandelannya. Aku menyebutnya "singa" hahahaha...
Karena rambutnya merah dan acak-acakan, pokoknya gak ada rapi-rapinya.
Kelas 3 takdir berkata lain.
Otak Gio itu sebenarnya encer walaupun dia bandel. Wajar kalo di kelas 3 dulu Gio masuk ke kelas 3IPA-2. Dan itu artinya dia sekelas denganku, Lita, Tya, Rurie, Kiki dan juga Yuda.
Sekelas juga gak menjadikan aku dekat dengannya, menurutku dia sedikit angkuh. Terlalu percaya diri, ditambah lagi pertengah kelas 3 dia dan Tya pacaran. Dan aku juga masih dalam kondisi patah hati. Patah hati itu membuatku menutup mata untuk siapa dan apapun juga.
Terdengar meja dihadapanku diketuk sedikit keras. Aku melotot ke arah Gio dengan pandangan "Apa-apaan sih kamu?"
Gio memundurkan badannya sampai punggung menyandar dikursi "Kamu mikirin apa sih Ai? Ketemu aku kok kayak orang bingung. Kayak gak pernah kenal aja." Gio mengernyit sambil bersedekap.
"Aku gak apa-apa Gi. Aku cuma masih capek aja, ngantuk tau. Harusnya sekarang aku masih di atas kasur." gerutuku.
"Jadi cewek kok doyannya tidur. Jalan dong, biar tau kota ini kayak apa. Jadi ntar gak nyasar."
"Permisi..." pelayan datang kembali untuk mengantarkan pesanan kami. Setelah si mba pelayan selesai meletakkan semua pesanan kami, aku mengucapkan "Terima kasih" dipadukan dengan senyuman manis. Huueeekk...
Sambil melahap pesanan, dia mulai bersuara lagi dengan mulut penuh "Jadi, kamu ngapain aja selama di sana Ai?"
Ini orang kok kayak detektif ya semua ditanyakan gerutuku dalam hati.
"Ya biasalah kayak orang yang pulang ke rumah. Aku kangen kamarku, jadi aku cuma ada dalam kamar untuk beberapa hari sambil beresin baju yang ku bawa ke sini."
"Selama aku gak di sini pasti kamu mulai ngejar-ngejar Tya lagi kan?" selidikku sambil memandang curiga ke arah Gio.
"Eiittss...gak dong. Aku di rumah, kalo bosan di rumah aku ke toko yang di atas tadi. Itu toko pamanku."
"Enak dong bisa baca buku terus kamu. Kalo aku jadi kamu aku pasti betah lama-lama di sana."
"Kenapa?"
"Aku suka baca buku. Khususnya novel Gi." terangku
"Oh, kamu suka baca? Ntar aku baca semua buku terus aku ceritain ke kamu yaa."
Hampir aja aku tersedak mendengar kalimat Gio barusan, aku tertawa "Kamu pikir aku anak kecil di dongengin sebelum tidur?"
Gio melirik jahil "Kamu kan gak bisa tidur kalo belum dengar suaraku." dia tertawa.
"Ge'er kamu" balasku tersenyum.
Tangan Gio melambai memanggil pelayan untuk meminta bill.
Setelah membayar ke meja kasir, aku dan Gio menuju pintu keluar. Kakiku melangkah ke arah kanan, Gio kembali menarik tanganku."Pulangkan?" kataku bingung
Masih sambil menarik tanganku dia berkata "Kita mau nonton dulu. Buruan, udah mau masuk."
Jujur, ini sedikit gila.
Gio itu pacar Tya, terserah udah berubah mantan apa belum. Jalan dengan pacar teman sendiri rasanya aneh luar biasa. Aku bukan orang yang gampang untuk akrab dengan orang lain.
Dan aku gak mau Tya jadi berpikiran lain kalo tau soal ini.
Tapi menolak ajakan Gio juga gak ada gunanya, pasti dia tetap memaksa. Tuhan, jaga hatiku. Aku gak mau mengulangi apa yang dilakukan sahabatku ke aku. Cukup dia, jangan aku.
Komentar
Posting Komentar