Luka Lama!
Alhamdulillah, hari ini adalah hari terakhir matrikulasi di kampus. Tiga puluh hari yang tegang sekaligus membosankan. Ke kampus untuk pertama kalinya, bersosialisasi dengan orang-orang yang benar-benar gak kita kenali. Mencoba berbaur dengan mereka yang daerah asal dan sukunya beda-beda. Malam ini gak perlu tidur cepat karena besok pagi bisa bangun agak lamaan. Yiihaaaa...
Ponselku bergetar, ada sebuah pesan yang langsung aku tahu siapa pengirimnya.
"Ai, lagi apa? udah makan? kalo udah ntar sms ya, biar aku telpon". Jemariku dengan sigap menekan keypad untuk membalas pesannya "baru selesai mandi. iya ntar dikabarin". Send.
Gio adalah lelaki yang belakangan ini terlalu sering berkomunikasi denganku. Tiga tahun bersekolah di tempat yang sama, gak pernah membuat aku akrab dengannya. Apalagi sewaktu kelas tiga kami di tempatkan satu kelas dan dia saat itu pacaran dengan salah satu temanku. Tapi entah kenapa setelah kami melanjutkan ke perguruan tinggi, dia semakin sering mengirim pesan atau menghubungiku hanya sekedar menanyakan kabar dan curhat tentang pacarnya, mantan pacar maksudku.
Every time I see you falling
I get down on my knees and pray
I'm waiting for the final moment
You say the words that I can't say
I get down on my knees and pray
I'm waiting for the final moment
You say the words that I can't say
Alunan lagu Bizzare Love Triangel mengejutkan lamunanku. Ku lirik layar ponsel di sebelah,
Gio calling...
Saatnya menyiapkan telinga yang akan di isi dengan curhatan ke seribu kalinya. Dengan sedikit malas aku menekan tombol hijau. "Ya Gi.."
"Halo Ai, lagi apa?" tanyanya.
"Lagi nonton aja, kamu lagi apa? Urusan daftar-daftar udah selesai belum?"
"Lagi nelpon sama kamu. Udah, hari ini udah beres semua. Tadi daftar bareng Yuda."
Aku menghela nafas mendengar nama yang satu itu. Nama yang masih menyisakan pedih hingga detik ini. Entah kenapa harus berada di seputarannya lagi, berada dalam satu kota lagi dengan dia. Lupakan!!
"Jadi kapan kamu mulai kuliah?" tanyaku sambil berjalan ke kamar dan merebahkan badan.
"Senin depan Ai. Matrix kamu hari ini selesaikan? Berarti kamu pulang dong sebentar lagi?"
Aku berpikir sebentar. "Iya, rencananya aku pulang Senin. Cuma ambil pakaian aja sih sekalian singgah ke sekolah ambil ijazah. Jumat aku udah balik, Senin udah masuk lagi dan langsung OSPEK"
"Ooh. Lama dong kamu gak di sini? Gak ada yang ku telponin lagi nih kayaknya"
Alisku mengernyit. "Lama? Itu cuma 5 hari Gio. Lagian kan kamu masih bisa sms atau telpon."
"Gak ah, ntar herder kamu marah." Wajahku langsung cemberut "Gi, dia itu pacarku bukan herder. Dia baik kok, gak pernah larang aku untuk ini itu. Apalagi sampai cemburu karena kamu nelpon aku" sahutku panjang lebar.
Dia tertawa "Iyaaaa, maaf. Aku cuma ngerasa sedikit sepi aja kalo kamu gak di sini"
Kami terdiam agak lama. Terkadang aku bingung melihat Gio, aku sulit menebak apa yang ada dalam pikirannya. Aku sempat berpikir dia merindukanku atau mungkin hanya sebatas rindu akan suaraku. Tapi sesaat lagi aku pasti menghalau pikiranku jauh-jauh, karena pembicaraan selanjutnya adalah mantan pacar tercintanya. Yang buat aku mati kebosanan mendengarnya.
"Ai, aku harus gimana lagi sih minta maaf ke Tya? Segala cara udah aku coba, bahkan hanya untuk mendengarkan penjelasanku sedikit aja dia gak mau Ai." terangnya frustasi.
Dan tebakanku benarkan? Curhatan ini udah beberapa waktu menjadi pengantar tidurku. "Aku bingung mau ngejawab kamu Gi. Kamu taukan aku juga udah beberapa kali coba ngomong ke dia. Bujukin dia biar kasih kamu satu kesempatan aja untuk ngejelasin semuanya. Dan kamu sendiri juga tau hasilnya kayak apa. Tya tetap dengan keras kepalanya." Aku mendengar dia menghembuskan nafasnya dengan kuat. Seakan dia punya beban paling berat di dunia ini.
"Aku kan udah sering bilang ke kamu Gi, udah stop aja. Biarkan dia dengan keras kepalanya, berhenti ngehubungin dia. Berhenti kirim pesan dan nelpon-nelpon dia. Kok kamu ini kayak pengemis aja sih" cecarku memarahi Gio. Aku gak habis pikir kok ada cowok yang baiknya berlebihan gini. Udah jelas-jelas yang salah itu Tya, kok yang minta maaf itu malah Gio.
Sambil menghela nafas, aku melanjutkan kalimatku lagi "Gi, dia cuma cewek bodoh. Aku gak perduli dia itu temanku atau bukan, tapi yang aku tau dia bodoh. Bodoh karena menyia-nyiakan orang sepertimu. Dia yang selingkuh Gi. Dia yang memilih ninggalin kamu. Bukan salah kamu waktu itu sampai mergokin dia terus maki-maki dia depan umum. Itu wajar, sangat wajar malah" kataku campur emosi.
Gio masih aja diam mendengarkan aku berbicara.
"Kita udah berusaha, kamu dan aku sama-sama bujukin dia. Eh malah dia sendiri yang nutup pintunya buat kamu. Ya udah, harusnya kamu sadar Tya gak mau berhubungan sama kamu lagi. Biarkan dia pergi dengan keras kepalanya, biarkan dia pergi dengan egonya serta pembenaran sama apa yang udah dia lakukan ke kamu."
Mataku terpejam, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk meredakan kekalutan hati Gio. "Gi, apa yang seharusnya milik kita, suatu hari akan kembali ke kita lagi. Kalo dia gak kembali itu artinya bukan ditakdirkan untuk kita. Percayalah, suatu saat kamu akan mengerti akan hal itu. Apapun yang serba dipaksakan gak akan bagus hasilnya. So, biarkan Tya dengan keputusannya. Kalo Tya benar-benar sayang sama kamu, dia akan kembali dengan cara apapun juga."
Aku terengah-engah sendiri berada dalam percakapan ini. Percakapan yang sebenarnya membuka luka lama yang mulai kering perlahan. Satu tahun lalu aku mengalami hal yang sama, mencoba memberi kesempatan kesekian kalinya. Hingga akhirnya aku tersadar, dia bukan orang yang tepat untukku. Dia gak pernah menginginkan aku berada di sebelahnya. Aku hanya disinggahi kala dia dalam keadaan kacau. Saat itu, aku terpuruk lebih parah dari Gio. Tapi lambat laun aku belajar untuk berdiri, untuk membuka mata. Melihat dia tertawa, bahagia dengan hidupnya sementara aku di sudut itu meratapi nasib. Menghakimi diri sendiri. Ooh betapa tololnya aku saat itu.
"Aku gak mau ada orang lain yang sama tololnya denganku waktu itu. Aku gak mau ada orang yang terpuruk hanya gara-gara kehilangan orang yang gak sayang sama pacarnya. Ada atau gak ada pacar, bumi ini masih berputar seperti biasa. Matahari masih terbit dari arah yang sama dan tenggelam juga masih di tempat seharusnya. Jadi kamu gak perlu lama-lama sedih Gi, kamu berhak bahagia. Percaya sama aku, suatu saat kamu akan ketemu sama orang yang pas buat dijadiin pacar." aku berusaha meyakinkan Gio.
"Ini yang buat aku betah lama-lama nelpon dengan kamu." ujarnya bersemangat. Aku memijit-mijit keningku agar gak terlalu terbawa perasaan dengan apa yang baru saja dia katakan.
"Kamu selalu mampu menenangkan hatiku, mampu buat aku berpikiran positif lagi. Aku akui, aku terlalu sedih karena Tya. Tapi seperti katamu Ai, lambat laun aku harus coba untuk lupain dia. Dan nunggu seseorang yang sudah Tuhan siapkan untukku." sambungnya lagi.
Dan aku udah bisa menebak seperti apa ekspresi wajahnya di seberang sana. Aku tersenyum, berharap Gio bisa segera sembuh dari patah hatinya. Selain aku gak tega melihat cowok cengeng meratapi nasib, telingaku udah cukup penuh dengan nama Tya setiap malam. Masalahnya Tya juga temanku dan harus berada di tengah kedua orang ini membuatku sedikit jengah. Harus bisa bersikap netral di depan keduanya. Walaupun sebenarnya aku gak suka cara Tya memperlakukan Gio.
Mataku mulai berat, menukar posisiku menghadap dinding. "Gi, belum ngantuk? Aku ngantuk, kita bobo yok Gi."
Tiba-tiba dia bertanya "Apa yang kamu rasakan dulu waktu Yuda menyakitimu? Berapa lama hatimu bisa sembuh? Siapa yang memberi nasehat seperti yang barusan kamu katakan ke aku?"
Nafasku langsung sesak. Kamarku rasanya minus udara begitu mendengar pertanyaan dari Gio.
"Apa aku boleh memilih gak menjawab pertanyaanmu Gi?" pintaku memelas.
Dia terbahak-bahak. "Ai, kamu suruh aku cepat lupain Tya. Kamu bilang aku gak boleh sedih, berhak bahagia. Gak boleh terpuruk. Sementara kamu sendiri juga belum sembuh Ai. Kamu terlihat jelas masih rapuh. Jangankan aku menanyakan seperti ini, cuma dengar namanya ku sebut nafasmu udah lomba lari keluarnya".
Damn!!!
Percuma membantah manusia satu ini. Dia bukan orang yang gampang menyerah jika ingin tau sesuatu. Pelan-pelan aku coba mengumpulkan memori yang masih berbekas hingga detik ini.
Helaan nafasku sangat terdengar jelas.
"Gi, aku belum sembuh total. Ini masih on process. Aku nasehatin kamu seperti ini juga gak gampang tau. Susah nemuin kalimat yang pas untuk kamu pahami. Dulu kamu tau sendiri aku lebih parah dari pada kamu. Masalah yang ku hadapi lebih rumit dari pada ini. Aku harus tau kalo dia..." aku diam sejenak.
"Aku gak harus sebut namanya kan Gi?" lanjutku sambil tertawa miris.
"Apapun yang membuatmu nyaman untuk cerita Ai" balas Gio.
Bibirku membentuk senyuman kecil. "Makasih. Aku harus tau dia selingkuh dengan sahabatku. Sahabat yang udah dari kecil aku kenal. Itu rasanya luar biasa Gi. Padahal sebelum kami jadian, aku gak pernah meminta dia untuk jadi pacarku, seperti yang dilakukan Tya ke kamu. Dia yang datang menawarkan dirinya untukku. Yang menurut pengertianku, dia yang menginginkan aku bukan sebaliknya."
"Kamu gak sayang dia dong berarti?"
"Sayang, dari dulu malah. Dari sebelum dia kembali ke kota kita. Cuma aku ini cewek, gak mungkin aku yang harus kasih tau tentang apa yang aku rasain kan?" aku berusaha lebih santai menceritakan ini semua. "Jadi begitu dia menyatakan perasaannya yaa aku pikir dia juga merasakan hal yang sama denganku. Sampai akhirnya itu cuma bertahan hampir dua tahun aja. Barulah dia mulai berulah. Sekali dia melakukan kesalahan dan kembali untuk meminta maaf, oke aku maafkan. Aku bukan termasuk orang yang pendendam. Tapi mungkin lama-lama dia melihatku seperti yang terlalu cinta ke dia. Karena sempat beberapa kali memaafkan kesalahannya. Sebenarnya bukan terlalu cinta, aku malas harus ganti-ganti pacar. Susah adaptasinya."
Gio langsung menggodaku "Ah masa sih kamu yang cinta sama Yuda? Aku gak yakin tuh. Melihat kamu yang segitu setianya sama dia walaupun udah disakitin berkali-kali."
"Ya terserah mau percaya atau gak, seperti yang aku bilang aku cuma malas harus ganti pacar dan harus adaptasi lagi. Adaptasi adalah hal yang paling sulit untuk aku lakuin.."
Dia bertanya lagi "Lantas apa yang bikin kamu mutusin untuk gak sama dia lagi?"
Mataku mengerjap sambil berusaha mengingat kejadian suram itu.
"Hmm...dia mutusin aku. Dan itu setelah dia mendiamkan ku beberapa bulan. Waktu itu aku cuma jawab oke. Lalu aku berjalan keluar dari ruang kelas, belum sampai di pintu dia memanggilku lagi. Aku hanya mematung dan berusaha menahan bendungan air mata yang dari tadi udah berkumpul di sudut mataku. Dia mendekat, mengambil tangan kananku sambil mengucapkan kata maaf. Menarik tubuhku mendekat ke arah tubuhnya, memelukku erat sambil minta maaf. Air mataku langsung berhamburan saat itu juga, aku adalah perempuan manjanya Gi. Dia satu-satunya pundak yang bisa aku sandari untuk menangis. Untuk berbagi keluh kesahku tentang kehidupanku di rumah. Detik itu juga aku tersadar, aku telah kehilangan seseorang yang dua tahun ini udah ku jadikan penopang. Tapi detik itu juga, sesuatu menarikku ke kenyataan, kenyataan di mana dia gak menginginkan aku lagi. Kenyataan bahwa dia lebih memilih bersama sahabatku. Aku melonggarkan pelukannya berdiri tegak sambil menatap matanya, aku cuma berbisik bahwa aku udah memaafkannya. Dia membalas pandanganku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia mengecup bibirku Gi, bisa kamu bayangkan? aku sedang sakit hati karena dia tinggalkan lalu dia seenaknya mendaratkan kecupan di bibirku sebagai salam perpisahan" ada sesuatu yang panas dalam dadaku menceritakan semua ini lagi.
Dia mendesah pelan di ujung sana. "Aku gak tau cerita sedramatis itu. Aku pikir kejadian seperti itu cuma ada di televisi aja" katanya sambil tertawa pelan.
Telingaku udah mulai panas di tempeli ponsel terus. Ceritanya masih panjang, aku cuma merasa enggan untuk meneruskannya. Tapi aku gak mau Gio mendengar cerita setengah-setengah.
"Seperti itulah adanya. Sejak kejadian itu, aku mulai menjauh dan kembali jadi pendiam. Aku memilih untuk larut dengan duniaku sendiri. Sulit. Karena masih aja harus melihat mereka bersama setiap hari. Harus melihat mereka bergandengan tangan, bercanda dan saling memandang mesra satu sama lain. Naufal adalah pelarianku satu-satunya. Kehadirannya yang menyelamatku dari situasi buruk itu. Mengetahui bahwa dia menyimpan sesuatu untukku membuat pikiranku yang masih kalut asal mengambil keputusan. Dan jadilah kami seperti sekarang ini."
Gio kembali menyelidiki perasaanku "Jadi kamu gak punya perasaan apa-apa ke Naufal? Aku gak tau kalo kamu sejahat itu Ai."
Aku berdecak "Itu awalnya aja Gi. Waktu bisa merubah semuanya termasuk perasaan. Aku menyayanginya, dia anaknya baik. Kalo ada orang yang benar-benar tulus sayang ke aku, untuk apalagi berlarut-larut memikirkan dia yang udah gak sayang. Dari situ aku mulai belajar Gi. Aku mencoba lihat ke dua arah. Arah yang pertama, Yuda udah bahagia dengan pilihan dan gak sekalipun menoleh ke arahku lagi. Arah yang kedua, aku udah punya Naufal. Cowok yang baik, sabar dan penyayang. Dengan hal seperti, aku udah gak punya alasan untuk stuck di satu sudut kelam. Aku juga berhak bahagia dan hidup normal. Meskipun perlahan tapi waktu yang akan menyembuhkan semuanya. Gak harus memaksakan diri untuk gak melihat dan mengingat. Cuma perlu stok sabar yang agak banyak aja Gi." Fiuhh...aku akhirnya menyelesaikan cerita horor ini. Hahahaha...
Tutup dan jangan buka lagi.
"Kamu kuat ya Ai. Bantu aku buat ngelewatinnya ya. Ingatkan aku kalo aku mulai mengacau lagi." pinta Gio.
Aku melihat jam di layar ponselku, jam 01.45. "Iya, yang penting kamu mau dengerin aku. Aku gak akan ngomong banyak-banyak. Kalo aku bilang itu cerita harus diskip berarti berhenti bercerita tentang Tya lagi. Mari kita bobo. Mataku udah mulai perih."
"Bye Ai"
"Bye Gi." aku langsung menekan tombol merah.
Komentar
Posting Komentar