TITIK TERENDAH

"Ma, Edmund mau es krim!"

Aku dan papanya pun hanya mampu saling menatap. Karena merogoh kantong pun pasti akan sia-sia. Jangan uang kertas, recehan pun gak punya.

Ini adalah realita yang kami alami di sepanjang pernikahan kami yang memasuki tahun ke empat. Dan memang di akhir tahun ketiga pun ini sudah dimulai tetapi gak sampai sebegini parahnya. Semuanya disebabkan beberapa hal yang dari awal gak di antisipasi. Kami memang gak pernah merencanakan atau mengatur tentang keuangan. Karena dari awal pernikahan kami berdua sama-sama termasuk mapan dalam hal keuangan. Aku sendiri gak pernah mewajibkan suami untuk memberi jatah perbulan, karena gajiku pun cukup dan berlebih untuk biaya rumah tangga selama satu bulan *SOMBONG hahahaha

Tapi demikian kenyataannya. Si suami berkewajiban untuk bayar tagihan, misal kredit motor, tv berlangganan, dan sebagainya. Kami gak pernah menyiapkan dana emergency, karena asuransi pun sudah disediakan oleh perusahaan yang plafonnya Alhamdulillah lumayan yaa. Menabung pun gak wajib, wong gaji bulan lalu belum habis gaji bulan ini sudah masuk. Jadi menabung memang gak jadi prioritas, bukan gak mencoba. SUDAH. Tapi lagi-lagi itu tabungan tak bobol, dalam hati ini uang ngapain sih disimpan-simpan. Apalagi investasi emas, ehmm lap peluh dulu ya pemirsaah kalo ingat barang-barangku dulu.

Aku adalah tipe manusia yang gak mau direpotkan oleh urusan duniawi (meskipun yang akhirat masi bolong). Emas menurutku adalah urusan duniawi. Yang kalo dipake hanya untuk mempertontonkan/menunjukkan seberapa mapan kah dirimu? Seberapa hebatkah kamu? Jadi untuk itu, perlu melilitkan beberapa lilitan di leher, di tangan, di jari dan bisa jadi di kaki juga. Buatku itu sangat-sangat TIDAK PERLU sodara-sodara *kibassss kepala

Aku gak hobby pake mas, adapun cukup disimpan di mami. Kadang lupa kalo punya. Jadi, melihat emas itu nganggur di laci lemari eng...ing...eng aku jualin aja dulu hahahhaha. Emak-emak gilaaakk memang ya. Iyaaa, soalnya gak hobby. Dan perlu dicatat, semua barang kujual bukan di kondisi susah. Itu semua dikerjain pas sedang berlebih-lebihnya. Bodoh? Menurut kebanyakan orang iya. Buatku? Pinter dan gak dosa, membiarkan barang seperti itu mubazir dipake sama laci lemari pakaian. Sudahlah ya cerita emas ya, sakit jiwa kalo ingat wkwkwkkwk.

Buatku dan suami yang paling sakit dari semua kejadian adalah ketika melihat anak-anak yang menjadi korban keegoisan kami dulu di awal pernikahan. Egois dong mama papanya pengen punya anak terus masa depan anaknya sama sekali gak direncanakan, misal dana pendidikan, dana emergency dan dana lainnya. Padahal waktu itu keadaan lebih dari cukup. Mendengar Edmund meminta sesuatu dan kami gak bisa memenuhinya adalah tamparan terberat untuk kami. Khususnya aku sendiri. Waktu Edmund baru-baru lahir, biasa lah ya emaknya exited kali baru punya anak satu kerjaannya ya buka olshop terus. Belanja online terus. baju, sepatu, dan mainan. Semua lengkap kalo untuk Edmund. Demam sedikit, cuuusssss ke SPA. Alergi sedikit cuuussss lagi. Izin kerja pun jadilah. Susu formula mesti kasih yang terbaik, dan yang pasti itu mahal. Gak masalah. Apa sih yang jadi masalah kalo semua yang kita lakukan untuk anak. Benar gak?


Edmund lahir di keadaan yang serba ada. Walo dia masi kecil dan belum mengerti apa-apa tapi pastilah dia sedikit tau kalo dia berada di tengah keluarga yang cukup. Lain hal dengan adeknya, Mikail lahir di keadaan yang aarrgghh bisa dibilang serba susah. Dan susahnya sudah benar-benar parah. Bayangin dalam keadaan hamil 9 bulan, kami gak pegang uang sepeserpun untuk biaya melahirkan. Lebih gilak dari apa ini coba? Tapi itulah kenyataannya. Beli es krim untuk Edmund aja udah gak sanggup gimana mau lahiran adeknya ya. Tapi Allah selalu tau dengan apa yang Dia perbuat untuk ummatnya. Meski itu cobaan tapi pasti ada jalan keluar untuk itu. Entah itu melalui orang terdekat maupun orang lain pasti ada aja yang Dia rencanakan.

Sekilas tentang lahiran Mika. Setahun terakhir kami banyak menyusahkan mami dan bapak, jadi kamipun berusaha untuk lahiran ini kami gak menyusahkan. Kamipun mulai berusaha ke sana sini. Kalo sodara papanya Edmund jangan tanya, Alhamdulillah rata-rata berkecukupan tapi ya gitu deh yaa (tebaklah kata selanjutnya apa hehehe). Jadi aku yang berusaha minjem ke sodara-sodaraku. Coba yang itu gak ada. Coba yang ini gak ada juga. Semua sudah dicoba, sampai berencana pinjem uang yang berbunga dan Alhamdulillah gak dapat. Dan ada satu cerita yang bikin aku dan suami ngelus dada sebanyak-banyaknya. Memang beberapa kali aku mencoba ke sodara yang satu ini jarang sih dapat, tapi mana tau dia iba karena ini untuk lahiran pikirku yaa. Dan dengan segenap hati kucoba lah. Pertama aku coba ke istrinya, istrinya bilang kayaknya suaminya punya duit dan dia menyanggupi untuk menanyakannya terlebih dahulu. Lalu beberapa hari kemudian si istri menginformasikan kalo suaminya bilang "koq bukan dia yang tanya langsung?". Maksudnya aku yang disuruh langsung ke dia. Oke, lampu hijau dong ya. Kucobalah menghubungi suaminya, jawabannya adalah GAK BISA BANTU.

Oh..my..oh..my! mbok yang jawab gitu langsung ke istrinya kemaren napa? Mesti gitu nyuruh aku nanya langsung kalo toh jawabannya gak bisa. Oke, itu hak seseorang mau bantu apa gak tapi bisa gak sih mempersingkat penderitaan orang lain. Jangan php dong *eeeaaaa
Dan si istri pun mengkomfirmasi ke aku apa jawaban suaminya, yaa ku bilanglah suaminya gak bisa bantu. Eh si istri membagi informasi yang gak seharusnya dibagi ke khalayak yang sedang kesusahan seperti aku. Dia bilang si suami baru aja beli kebun seluas sekian-sekian hektar. Reaksiku? Menangis, dalam hati. Terenyuh akan keadaan diri sendiri. Tapi ya sudah dada cukup di eluslah ya. Perih-perih dikit gak apa-apalah, namanya juga hidup.

Dan setelah semua lika-liku meminta bantuan gak membuahkan hasil, akhirnya keputusan adalah mengibarkan bendera putih ke mami. LAGI. Malu? Papa Edmund sampai gak punya muka di hadapan mamiku. Ya iyalah, hasil perbuatannya mamiku yang membiayai untuk dikeluarkan. Tapi dia juga gak punya daya. Kemana-mana usaha dia juga gagal. Mika lahir dengan sehat dan selamat. Perlengkapannya? Pake bekas abangnya semua. Sedih? Sudah pasti, karena Edmund dulu lahir untuk perlengkapannya aja keluar sampai 5 juta. Mika lahir? Uang keluar gak nyampe 500rb untuk beli semua perlengkapannya. Sungguh berbanding terbalik hidup kedua anakku ini.

Tapi seperti itu lah hidup. Sesempurna apapun hidup, ternyata ada waktunya untuk jatuh. Semulus apapun perjalanan, roda aja pun tetap harus berputar ke arah bawah.

Mungkin ada yang bertanya, koq bisa? Jangan orang lain, diriku sendiripun bertanya-tanya. Apa yang sudah kuperbuat sampai Allah menghukumku seperti ini. Aku manusia yang jarang berhubungan dengan manusia lain. Lebih tepatnya, eiikee gak rese sama hidup orang lain. Jarang menggosipi orang lain dan sodara. Hampir gak pernah mengurusi siapapun. Dan gak pernah pelit sama orang lain yang lagi butuh bantuan. Ada orang ngutang, kasi dan kadang suka lupa minta dikembaliin. Yakin? 100% aku bisa menjamin diriku sendiri gak melakukan hal-hal di atas. Mukaku sangat gak ramah, gimana orang mau ngajak gossip hahahahaha.

Lantas apa yang membuat bisa seperti ini?

Setelah dirunut-runut, ehm ini hasil pemikiran sendiri ya setelah berkaca beberapa saat. Aku terlalu sombong. Terhadap orang lain? Bukan! Tapi terhadap diriku sendiri dan Allah. Yang ku sombongkan adalah kesuksesanku di umurku yang masi 23 tahun sudah menerima gaji di angka 5-6. Menempati posisi yang lumayan di sebuah perusahaan. Menikah dengan jalan sangat mudah di usia yang belum genap 24. Mendapat suami dari keluarga yang cukup dan suami pun berpenghasilan cukup. Dalam pikiranku yang sombong mungkin seperti ini bahasanya "Ini rezeki yang sudah Allah siapkan untukku di usai semuda ini. Allah mungkin bermaksud menggantikan/membayar semua penderitaanku di waktu kecil hingga masa kuliah dengan semua rezeki-rezeki yang berdatangan pada saat itu. Aku seyakin-yakinnya, Allah sudah cukup mengujiku sewaktu kecil dan Allah gak akan pernah lagi memberiku ujian apapun"

What? Siapa aku ya, Allah sampai rela membayar-bayar penderitaanku? Aku hanya salah satu makhluk kecil di antara milyaran ummatnya yang lain. Kenapa aku merasa Dia selalu berfokus pada rezekiku dan penderitaanku saja? Apa namanya kalo bukan SOMBONG?

Kesombonganku pada diriku dan Allah lah mungkin yang membuatku harus mengalami semua cobaan ini. Dan mungkin  juga salah satu sebab adalah aku pernah tanpa sengaja menyakiti hati mami dan bapak yang mungkin membuat mereka bergumam di hatinya masing-masing. Lalu apa hubungannya? Allah kadung mendengar gumamamnya. Bukan sumpah serapah. Tapi mungkin dia hanya bergumam, betapa aku terlalu cuek kepada mereka. Mungkin mereka berdua sempat bergumam, kemana kah kami nanti setelah menua? sedangkan anak ini sudah mencapai kesuksesannya, bisa jadi ia lupa terhadap kami. Allah murka kelesss. Allah tau sakit hati yang meskipun jauh diselipkan seorang ibu dan bapak di dasar hatinya. Allah Maha segalanya.

Aku pun bukan tipe anak durhaka. Tapi terkadang aku terlalu sepele dengan urusan tetekbengek yang berbau menyenangkan hati orang tua. Hubungan kami memang baik-baik saja tetapi sedikit kaku. Aku orang yang apa-apa simpan sendiri, lebih baik diam. Dan mamiku juga sama. Kalo marah aja kenceng tapi kalo ada sesuatu juga diam. Aku malah lebih sering ngobrol-ngobrol dengan bapak. Di kamusku gak pernah terbersit harus berkewajiban kasih sekian ke mami bapak. Karena dari segi finansial mereka termasuk cukup. Apalagi urusan dapur, aku terlalu cuek. Yang ada hanya kasih uang pulsa atau kalo yang jumlahnya besar pada saat lebaran pasti kasih THR, baju dan kain sarung. Bagiku sendiri, urusan balas budi atau pengabdian terhadap orang tua terlalu rendah jika hanya berbicara seputaran uang. Aku lebih senang kasih barang dari pada uang. Jasa mereka terlalu mahal jika uang adalah balasnya.

Dan ternyata aku salah besar dalam hal ini. Menyenangkan orang tua bukan melulu tentang jumlah. Menyenangkah mereka bukan hanya tentang apa yang mampu kau berikan. Menyenangkan itu tentang hati mereka. Mungkin aku salah dan membuat hatinya terluka ketika aku akan berlebaran di rumah mertua, aku memberitahu mereka pada saat bersamaan aku memberi THR beserta kain sarung. H-2 mungkin. Dan itu sering aku lakukan. Atau aku suka jalan ke Sidempuan, ke Medan atau ke manapun tapi jarang memberitahu mereka jauh-jauh hari atau sekedar berbasa basi mengajak mereka ikut serta dengan kami. Sebenarnya kami tidak keberatan mengajak mereka, tapi karena mereka biasa menolak jadi keseringan aku jadi jarang mengajak. Apalagi mamiku adalah orang yang mabuk berat di perjalanan, kadang itu yang menjadi alasannya untuk ikut kemana pun pergi, baik dengan kami ataupun keluarga lainnya. Sedangkan bapak, pasti alasannya warung. Jangankan mau jalan-jalan, lebaran aja itu warung paling tutupnya hanya 2 hari, hari ketiga udah langsung buka. Alasannya, sayang banyak langganan datang. Buatku sekali dua kali mendengar alasan ini berarti ajakanku selanjutnya pasti mendapat jawaban ini.  Pernah sekali waktu, kami akan ke Jakarta. Mami sudah menyanggupi untuk ikut, jadilah tiket sudah dibooking. Bapak sudah di ajak, menolak ikut. Lagi-lagi warung yang jadi alasan. Dan yang terjadi H-2 mami memutuskan untuk gak jadi ikut, lah tiket? Hanguss bo. Aku sih gak marah tapi sedikit kecewa. Aku berharap bisa bawa mami jalan-jalan sampai ke Bandung. Tapi yaa beliau sudah memutuskan karena kasian katanya liat bapak gak ikut.

Nah karena keseringan seperti ini, kami jadi jarang mengajak mereka. Basi-basi pun gak. Aku manusia yang gak suka basa basi. Males. Hidup udah ribet, jadi jangan diribetin pake basi basi. Iya..iya dan kalo gak..gak. Udah dewasa ini juga ya. Dan mungkin inilah kesalahan keduaku. Walo berbasa-basi harusnya ajak aja, jadi mereka merasa dilibatkan dalam keluarga kecil kami. Satu lagi, aku dan suami suka memutuskan sendiri tanpa meminta pendapat mereka. Mereka suka marah, terutama soal mobil waktu itu. Ujug-ujug papa Edmund pulang dari Medan udah bawa mobil aja, hasilnya sekarang? Mobil memiskinkan hidup kami. Rasain kamiiii!!! Hahahahahahaha.

Kita gak pernah tau kapan hati orang tua terluka. Meski gak terluka, mungkin hanya tergores sedikit aja Allah udah catet. Lengkap dengan sanksinya *sok tau

Pelajaran apa yang kudapat setelah semuanya? Menyesal? GAK *ketawa guling-guling

Gak sedikitpun terbersit sesal jikapun ada mungkin hanya tentang menyakiti hati orang tuaku baik sengaja maupun gak. Jika aku menyesal, aku salah. Karena semua ini terjadi karena diriku sendiri, dalam keadaan sadar lagi. Hahaha. Gak perlu menyesal menurutku. Dengan adanya fase ini di hidup kami, kami menjadi lebih tau arti bersyukur. Gimana gak? Dulu ya ke pasar, minimal di dompet ada 600rb. Habis semua sekali belanja? Habissssss. Setelah semua sampe di rumah, kadang buah sampe busuk di kulkas dengan gampangnya buang. Nasi kalo agak sedikit kering di magic com buang ke belakang, ikan begitu dan sayurpun begitu. Semua barang di rumah begitu.

Sekarang? Allahu Akbar. Ke pasar bawa 100rb cukup, meskipun dicukup-cukupkan. Bisa? Bisalah, karena udah gak punya. Bisa jadi si 100rb tadi dapat minjem atau dikasi temen. Terus dulu masuk dapur lihat susu Edmund setengah lagi, cusssss ke sidempuan, sekarang? Pun sampe tetesan terakhir lirik kantong udah kosong. Alhasil minum teh manis. Hahahaha. Pernah suatu malam dia mau tidur, minta susu aku bilang "susu Edmund habis nak, kita gak punya uang. Tunggu papa gajian ya baru beli susu" dan dengan besar hatinya dia bilang "teh manis aja la ma masukin botol biar bobo Edmund"

Hati emaknya hancur berkeping-keeping, setelah anaknya tidur emaknya nangis sesenggukan dengan muka ditutup bantal biar gak kedengaran. Aku marah sama Allah. Allah kasi aku titipan sampe dua lagi, tapi Allah masi bikin hidupku bertahan dikeadaan susah begini. Gimana bikin anak dua ini jadi sholeh ketika perutnya pun mama papanya sudah gak mampu mengisinya. Tapi itu dulu, sekarang aku gak punya hak buat marah sama Allah. Allah sudah pernah kasih yang terbaik dan cukup untukku. Tapi aku yang lupa bersyukur. Aku gak mampu memanfaatkan keadaan dikala aku sedang berada di kondisi berlebih. Aku bukan gak sholat. Sholat, yang sunat pun dikerjain. Tapi lupa bisa sholat, bisa beli telekung untuk sholat karena siapa?

Aku berdoa, aku juga bersedekah, tapi mungkin tujuan untuk hal tersebut luput dari otakku. Aku lupa kalo semua berasal dari Allah.

Apa semua sudah kembali ke dalam kondisi normal? Belum. Separuh normal pun belum tercapai. Tetapi paling tidak, hati sudah lebih ikhlas menjalaninya. Hati sudah lapang ketika lapar melanda tapi kulkas gak berisi. Hati sudah sedikit tenang menghadapi ketika anak kehabisan susu. Atau hati sudah mampu bersyukur ribuan kali walo di kantong gak bertengger seribu rupiah pun. Artinya aku sudah lebih mampu bersyukur di dalam kondisi yang sulit ini. Karena, aku sudah menyerah. Bukan putus asa, bukan. Aku menyerahkan semuanya ke tanganNya, Dia yang punya alam semesta ini. Ketika aku dan anak-anak kelaparan Dia tau pasti apa yang akan dihadirkannya untuk menghalau kelaparan kami. Pernah suatu pagi, aku sedang bersiap untuk berangkat kerja tapi di dapur gak ada apapun untuk di makan. Susu anak-anak juga udah mulai menipis. Aku hanya ingat doaku tadi sewaktu shubuh, aku hanya berdoa Ya Allah kuserahkan semua urusan perutku dan keluargaku kepadaMU, jika memang hari ini gak makan berarti itu yang terbaik. Aamiin. Dan tiba-tiba papa dan anak-anak masuk kamar menghampiriku dengan uang 250ribu di tangan. Ternyata pas mereka berdiri di teras ada 2 orang atasannya si suami sedang ke atm, yang kebetulan si boss ini juga temennya mertua. Nah anak-anak dikasih jajan sama mereka berdua. See? Allah udah siapkan rezeki kita setiap hari, baik itu yang kita upayakan sendiri maupun tangan orang lain.

Jangan remehkan Allah, jangan sombong dihadapanNya. Dia yang punya, koq aku yang sombong ya, ampuuun ya Allah hehehe.

Di titik terendah ini semua jadi pelajaran dan dapat hikmah.
Belajar jadi manusia yang rendah diri terhadap Allah (maap, aku gak bahas hubungan dengan sesama manusia). Belajar jadi manusia yang bersyukur walo di tengah keterbatasan dalam segala hal. Belajar menjadi manusia yang super ikhlas. Belajar menjadi lebih jeli melihat peluang sekecil apapun asalkan itu bisa menjadi jalan rezeki. Belajar mengenai manusia yang berada di sekitar, jadi tau siapa teman, siapa lawan dan siapa keluarga sebenernya.

Belajar menerima teman dan sodara yang menjauh ketika kami berada dalam kesulitan. Belajar menghargai siapapun yang turut andil dan mengulurkan tangannya untuk membantu kami. Belajar berdamai dengan diri sendiri, karena terkadang bukan anak atau suami yang gak bisa menerima keadaan. Kita sendiri pasti juga berat, kita yang biasa pegang uang dan pegang kendali tiba-tiba kehilangan semua pegangan tersebut.

Kami masi berada di titik terendah, masih berusaha naik. Belum bisa menulis tentang titik balik dari semua kejadian. Karena keadaan pun masi berangsur-angsur pulih, belum sepenuhnya. Tetapi sudah mulai merangkak kembali.

Di tengah kondisi seperti ini pun, Allah selalu mampu menghadirkan kebahagiaan kecil. Baik melalui rezeki, kabar baik dari sana sini, perkembangan anak-anak maupun dari segi pekerjaan. Aku tau Allah masi mengujiku, aku tau Allah masi sayang padaku, walopun sayang dan cintaNya dalam bentuk kesulitan. Aku tau Dia sedang merencanakan sesuatu yang baik untukku. Tak perlu kejutan besar ya Allah, sekecil apapun itu asalkan itu adalah rencana terbaikmu maka aku dengan senang hati menunggu hadiah dariMu.





Dian Siregar






Komentar

Postingan populer dari blog ini

melupakanmu

Pergi Untuk Kembali, Selalu Saja Begitu...

tercerai berai sudah