➡ 2016

Taun 2016 baru saja berlalu...
Aku mencoba sedikit kilas balik biar ingat setiap sakit, pedih dan bahagia yang terjadi kemaren-kemaren. Taun kemaren masih belum taun yang mudah untukku juga keluarga kecil. Sangat...sangat sulit bahkan. Aku belum bisa lepas dari masalah yang kubawa dari 2015.

Awal taun aku harus ikhlas bahwa aku harus berhenti bekerja di perusahaan yang sudah 5 taun menaungiku dan suami. Perusahaan tempat kami bekerja habis kontrak dengan client setelah perpanjangan kontrak 1 taun. Januari adalah akhir LCI di martabe. Dan aku kebagian sampai tutup pintu. Lalu ada perusahaan joint venture yang akan menggantikan posisi perusahaan yang lama. Tapi apa daya aku gak kebagian tempat di sana. Alasannya adalah gak bisa suami istri bekerja di tempat yang sama.

What the hell? Ada beberapa pasangan yang sudah sign contract duluan. Aku dengan sabar menunggu hingga maret. Tapi tak kunjung ada kabar. Ya sudah laa aku juga gak maksa, mungkin udah saatnya aku istirahat. Sambil menanti kehadiran baby yang ada dalam perut.

Iyaaa, dari akhir 2015 perut sudah berisi. Gak berencana sih tapi sudah rezeki kita nambah anggota baru. Awal tahun hingga pertengahan kami lalui pelan-pelan. Hingga harus berhadapan dengan kondisi ekonomi yang luar biasa berantakan. Juni sudah dijadwalkan lahiran tapi sepeserpun gak ada persiapan. Jangan tanya kenapa, semua sudah amburadul sejak awal. Lagi-lagi aku harus mengandalkan mamiku. Dengan segala malu yang kubawa terpaksa muka ini pun kuhadapkan ke beliau untuk memberitahu keluh kesahku.

Orang tua adalah tempat paling aman dan nyaman untuk kembali dari arah manapun. Kebaikan orang tuaku yang luar biasa yang mungkin gak bisa kubalas pakai apapun nantinya. Mami yang selalu siap sedia ketika aku tersandung, terjatuh bahkan sudah benar-benar gak mampu berdiri lagi. Dosaku adalah belum banyak bahagia yang bisa kubagikan untuknya ketika aku dalam keadaan mampu. Ketika aku sudah gak mampu, ke dialah aku mengadu. Dosakan? Sangat.

Tapi aku tau, orang tua akan selalu memaafkan anaknya. Apapun itu selalu ada kata maaf dan pelukan hangat dari mereka. Masalahnya Allah sudah terlanjur merasakan sakit yang diam-diam disembunyikan orang tuaku sehingga Ia pun berhak menghukumku dengan caraNya. Orang tua sudah bantu. Sodara-sodara sudah bantu. Sangat banyak malah. Tapi Allah masi menghukumku. Masi memberi ujian terberat yang pernah kulalui.

Apa ada yang paling sakit dari dikucilkan oleh keluarga sendiri?

Semua sodara melarang mami untuk mengulurkan tangannya. Mereka menjudge sesuka hatinya. Membenci hingga tak terhingga. Menatapku dan anak-anakku dengan cara yang gak bisa kupahami artinya seolah aku gak pernah berbuat baik. Seolah aku begitu lahir langsung terhina. Seolah aku adalah aib bagi mereka semua. Semua disebabkan oleh cerita dari mulut ke mulut yang lebih banyak bumbunya ketimbang kebenarannya.

Tak ada yang lebih sakit aku harus mengurus diriku sendiri dan anak-anak setelah aku keluar rumah sakit sehabis melahirkan. Mamiku gak boleh menginjakkan kaki di rumahku. Atau mamiku gak boleh membawaku pulang ke rumahnya, rumah oppung tepatnya.

Aku harus sesenggukan ketika mamiku mengetuk pintu belakang rumahku hanya untuk mengantar lauk untuk kami. Katanya takut terlihat kalo dari depan. Setelah ia berlalu aku terduduk lemas di belakang pintu, menangisi setiap sakit yang ia rasakan ketika ia gak mampu lagi melawan keinginan semua keluarga untuk tak mengindahkanku.

Puasa akan berlalu, lebaran pun tiba. Kusisihkan uang untuk membayar zakat fitrah kami sekeluarga. Hari ini harusnya beli daging, tapi sudah gak terpikir. Bukan gak ada uang. Malam sebelumnya ada seorang sahabat yang lebih ku anggap sodara menitipkan sesuatu di tangan putra bungsuku. 200rb. Tapi aku sudah gak semangat menatap hari lebaran esok hari. Sedih melihat si abang gak ada baju lebaran. 28 taun hidup, baru lebaran taun ini berlebaran dengan menu semur telur dadar tok!

Ketika semua orang membenci mama papanya, si abangpun kena imbasnya. Yang biasanya ada ngasih baju lebaran ini satupun tidak. Malah sudah mulai gak menegurnya ketika ia bermain di teras rumah. Semua orang melupakannya. Melupakan kebaikan yang pernah mama papanya lakukan untuk anak-anak mereka. Suamiku selalu bilang aku terlalu baik. Kemana pun aku pergi selalu ingat anak orang lain untuk di oleh-olehi. Tapi tetiba aku di kondisi seperti ini gak ada satupun yang melirikku dan anak-anak.

Lebaran berlalu seperti luka di hatiku pun mulai menguap perlahan. Aku mencoba bangkit dengan caraku. Mengandalkan kemampuanku dan hobby yang akhir-akhirnya ini lebih ku dalami. Meski tertatih terlewati koq. Dan aku sendiri memutuskan untuk menjauh. Aku ingin sejauh mungkin dari mereka yang selalu menganggapku aib keluarganya. Berhubung kontrak rumah sudah mau habis akupun berencana untuk mencari rumah baru untuk disewa. Aku mendapat satu rumah, rumah sodara juga. Katanya bisa bayar perbulan. Dan aku mencoba berkomunikasi. Awalnya sambutannya enak. Sampai aku pun sudah melihat rumahnya. Tetiba aku minta kunci katanya kunci masi di pegang seseorang yang sebelumnya menempati rumah itu dan dia gak berani minta.

Oooh oke. Si sodara yang ini pun sudah dipengaruhi entah sapa untuk tak menyewakan rumahnya untukku. Baiklah. Langkah terakhirnya adalah membawa anak-anak kembali ke eyangnya. Ku utarakan niatku ke mami. Ada sorot kecewa di matanya. Ada kesedihan mendalam yang kurasakan dalam suaranya. Dia masi melarang. Sampai suamiku pun akhirnya buka suara, kami takut semakin menyusahkan dan nanti yang lainnya akan semakin membenci mami katanya. Mamiku terdiam dan akhirnya keluar kata "terserah kalian". Aku tau dia ingin kami masi berada di sekitarnya. Aku tau ia khawatir ketika kami jauh. Aku tau ia kebingungan akan kemana ia dan bapak setelah benar-benar menua nanti. Biar mereka semua ragu padaku, tapi aku tau mami tak pernah ragu untuk menitipkan raganya yang nanti akan renta di tanganku. Ia tau aku bukanlah manusia yang tak tau balas budi. Ia tau aku bukan darah dagingnya tapi ia juga tau aku merasa berkewajiban mengurusinya dan bapak.

Aku dan suami kembali berpikir. Kembali membahasnya berkali-kali. Menyewa taunan sudah gak mampu. Cari rumah bulanan gak dapat. Tapi Allah selalu menghadirkan kemudahan di saat yang tepat. Gak jadi pindah sejauh itu. Hanya pindah sekitar 1km atau gak sampailah. Tapi itu cukup menjauhkan kami dari hiruk pikuk manusia yang kurang kerjaan yang sibuk mengurusi kesusahan orang lain. Menjauhkan dari semua yang mencoba memanfaatkan keadaan. Menjauhkan aku dari emosi ketika berkelahi dengan manusia-manusia itu. Termasuk menjauhkan diri dari sodara-sodara. Agar mereka gak terlalu sering melewati rumahku lagi. Agar aku gak menangis ketika ku lihat gak ada yang mau menegur anakku lagi. Aku menjauh agar mereka gak merasa bahwa ada aib yang berada di sekitar mereka.

Sejak lebaran memang aku sengaja menghindar untuk sering berkunjung ke rumah mami. Kalo gak terlalu penting, aku selalu mengabarkan apapun lewat sms atau handphone. Itu mengurangi intensitas bertemu dengan keluarga yang lain.

Aku sedang belajar membentengi diriku sendiri dari hal-hal yang membuatku berkecil hati. Membuatku semakin down. Aku mencoba menjauh agar aku bisa menata hati dan kehidupanku yang sudah berantakan. Dengan caraku. Dengan suami yang selalu lapang hatinya ketika di ajak berdiskusi. Yang selalu mampu menjaga emosinya ketika semua jalan sudah buntu. Yang selalu mau bekerja sama dalam hal apapun.

Pelan-pelan semua terkuak. Sedikit banyak kebenaran pun terbuka. Walo masi ada yang sentimen. Walo masi ada yang menatap hanya dengan sebelah mata. Tapi gak apa-apa. Hidup tetap berjalan meski mereka gak menerima keberadaanmu. Benarkan?
Aku merasa tak perlu membuktikan apapun dengan kata-kata. Waktu pasti akan menjawab. Allah akan selalu menunjukkan kebenaran.

Kami belum membaik tapi bukan juga dalam keadaan parah sekali. Masi dalam keadaan kurang tapi selalu merasa bahagia karena selalu bersama menghadapinya. Lebih tepatnya dalam keadaan kurangpun tak ada sebiji manusiapun yang mengurusinya. Kami tak perlu melihat mata yang selalu sinis. Kami bahagia.
Hingga ada rezeki di akhir taun yang menghampiri. Aku sudah gak bermimpi bisa bekerja kembali. Tapi berkat informasi dari seorang teman aku bisa kembali berhadapan dengan komputer dan antek-anteknya.

Semua membaik perlahan. Masi dalam keadaan kekurangan. Dan harus mengambil keputusan berat ketika anakku yang paling besar ditinggal bersama eyangnya. Minimal dengan dia di sana, pengeluaran untuk susu dan lainnya sedikit berkurang. Dan aku bisa fokus ke adeknya. Sakitkah? Sakiiiiittt sekali. Flash back sedikit, mungkin ini yang dirasain mamaku dulu ketika dia harus memberiku kepada sodaranya. Aku hanya menitipkan anakku ke eyangnya yang sewaktu-waktu bisa dijemput. Nah mamaku? Dia harus ikhlas melepaskan bayi berumur 40hari ditangan orang lain untuk selamanya. Hanya karena takut tak mampu membesarkannya dengan baik. Namun dari dulu aku gak pernah menyalahkan mamaku untuk ini. Aku paham kondisinya. Dan ternyata aku mengalami hal yang sama sekarang.

Hikmah dari semuanya?

Aku semakin dewasa dalam menghadapi apapun. Aku semakin bersabar dalam keadaan apapun. Aku ikhlas menjalani semua kesulitan ini. Aku lebih dan semakin dekat sama Allah. Aku tau cara bersyukur. Aku tau cara berserah kepadaNya.

Aku menjadi tau siapa mereka yang ada ketika aku dalam keadaan mampu saja. Dan siapa yang pergi dan tinggal ketika aku berada dalam kesusahan dan ketidakmampuan yang luar biasa ini.

Aku tau mana teman, mana lawan, mana sodara, mana yang sodara dalam "selimut" (hahahah istilah apa ini).

Ada 1 teman yang kurubah posisinya jadi sodara. Dia adalah malaikat penolong bagiku dan keluarga. Bantuannya bukan berdasarkan banyaknya. Tapi ia selalu ada ketika aku butuh bantuannya. Ia tak pernah menambah masalahku dengan judul "pinjam". Ia selalu memberi. Memberi apapun yang bisa ia beri. Tak banyak. Tapi hangatnya uluran tangannya selalu mampu membuat aku merasa tertolong.

Ternyata lebih baik bersodara kepada orang yang baru beberapa saat kita kenal ketimbang dengan yang sudah mengenal kita dari orok bayi. Sekalipun mereka mengenal baik, tapi mereka tidak pernah flash back dengan kebaikan-kebaikan yang terjadi dulu. Kebaikan bukan hanya berbau materi. Kebaikan bisa jadi tenaga, pikiran ataupun tindakan.

Semua ujian ini sudah menempahku menjadi manusia yang akan dan lebih baik dari hari kemaren. Dan berharap ini akan membuat aku bisa bermanfaat bagi orang sekitar. Kehadiran bisa menjadi berkah bagi orang lain. Lewat jalan apapun itu.

Bye...bye 2016
Sangat berarti pernah melalui semuanya. Tak terbersit sesal sedikit pun (kecuali tentang melukai hati kedua orang tua dgn tak sengaja). Malah bersyukur. Jadi semakin tau arti kehidupan sementara ini. Semoga aku bisa memperbaikinya. Aamiin 😊😊😊😊

Dian Srg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

melupakanmu

Pergi Untuk Kembali, Selalu Saja Begitu...

tercerai berai sudah