September Yang Tak Ceria

Hampir setahun aku meninggalkanmu di sana. Dengan harapan bahwa kamu akan jauh lebih matang. Juga lebih cepat menyelesaikan studimu. Tapi yang kulihat tak ada perubahan signifikan setelah aku pergi dan memantaumu dari kejauhan.




Dan hari ini aku putuskan untuk bertanya hal yang lebih serius. Aku tak perduli jarak walau aku tahu kamu tidak suka membicarakan hal serius hanya melalui sambungan telepon.




"Apa rencanamu untuk masa depan kita?" akhirnya pertanyaan ini kulontarkan setelah berbasa-basi panjang. Aku yang bertanya tetapi aku juga yang bolak balik menghela nafas.



"Kita udah sepakat hanya akan menjalaninya aja seperti biasa" jawabmu di seberang sana.


"Hanya seperti itu? Kamu nggak ingat umur kita udah berapa?" desakku



Kamu menghela nafas panjang "Udah ya Ai, nggak usah dibahas. Kamu tahu sendiri kalau hal kayak gini kita bahas nggak ada habisnya?"



Aku berpikir keras bagaimana caranya agar semua pertanyaanku terjawab.


"Ayolaah, ini bukan saatnya menghindar untuk membahas hal ini. Aku udah capek harus seperti ini terus. Aku juga ingin bebas bergerak sama kamu di mana pun kita berada. Kita udah dewasa dan sepertinya udah saatnya menjalani hubungan seperti orang dewasa lainnya. Yang udah punya planning untuk masa depan Yang udah bebas untuk ketemu mamamu atau juga mamaku. Intinya aku capek kita sembunyi-sembunyi selama 4 tahun ini"




"Apa yang kamu mau?" selidikmu


"Aku nggak minta kita nikah dalam waktu dekat, tapi aku hanya mempertanyakan komitmenmu untuk hubungan kita. Apa kamu punya planning untuk memberitahu ke mama kalau kita masih pacaran hingga sekarang? Apa kamu udah memutuskan pindah agama ikut aku atau tetap di agamamu dan kamu tahu kita nggak akan pernah bersama kalau itu yang menjadi keputusanmu?"



Pertanyaan yang sebenarnya pun mengalir tanpa jeda. Dan aku hanya terpaku menunggu jawaban darimu.




Suaramu terdengar sangat marah, "kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? apa yang membuatmu bertanya seperti ini? Kamu sangat tahu kalau aku nggak punya jawaban untuk setiap pertanyaanmu."


Aku terdiam. Tapi keinginanku mendapat kepastian dari kamu jauh lebih besar.



"Aku cuma mau kamu menjawab semua pertanyaanku tadi." ucapku



Kamu pasti sedang uring-uringan di ujung telepon sana, memikirkan jawaban terbaik apa yang bisa kamu beri untuk meyakinkanku tetap bertahan. Jawabanmu selanjutnya pasti menyuruhku bersabar. Itu yang kutebak, tetapi sepertinya tebakanku salah.



Kamu mengatur nafasmu sedemikian rupa. Agar bisa tenang saat berbicara. Aku tahu kamu tak bermaksud untuk menyakitiku dengan setiap kalimat-kalimat yang nantinya akan kamu ucapkan.




"Kamu tahu betul kondisi keluargaku seperti apa. Apalagi sejak papa udah nggak ada. Mama belum sepenuhnya bisa bangkit sepeninggal papa. Aku adalah anak paling besar yang harus menggantikan peran papa dalam keluarga. Aku adalah harapan mama. Aku yang nantinya akan jadi tulang punggung keluarga. Aku juga yang nanti menjadi contoh untuk adek-adekku. Bisa kamu bayangkan, kalau abangnya pindah agama? Sementara selama ini mereka semua berharap lebih ke aku? Bisa kamu bayangkan seperti apa perasaan mama, anaknya yang seharusnya jadi penanggung jawab di keluarga tiba-tiba pindah agama dan meninggalkan dia dengan adek-adek di rumah? "




"Sama, aku juga nggak akan meninggalkan agamaku. Bukan karena orang tua, tapi karena ini adalah agama dan kepercayaanku selamanya. Lalu untuk apa kita masih bersama?" tanyaku kembali


"Kamu ini kena setan apa sih sampai bahas hal yang nggak penting seperti ini?' tanyamu gusar.




Aku sudah bisa membayangkan kamu sedang mengacak rambutmu geram.



"Ini penting. Masa depanku. Masa depan kita. Kamu anggap ini nggak penting? Lalu aku ini apa, nggak penting juga buatmu?" balasku


"Arrghhh, bukan itu yang kumaksud!! Apa ini harus dibahas sekarang? Kuliahku belum selesai dan aku belum kerja. Kenapa harus membahas ini tiba-tiba?"



"Aku nggak nanyain kamu kerja, apa punya uang atau apa. Aku hanya pertanyakan komitmen kita. Apa kita hanya akan seperti ini terus, kalau iya sampai kapan? Tapi ya udah sih, kamu udah jawab tadi, jadi semua udah clear."




Kamu menghembuskan nafas dengan kasar, "apanya yang clear, hahh?"


"Ya tentang kita, kita nggak punya komitmen apa-apa."

"Udah ya, aku capek mau tidur dulu" Klik dan telepon pun terputus tanpa mengucapkan "I love you Ai atau bye Ai". Ku hempaskan handphone ke meja dengan gusar.




Aku yang sebenarnya terlalu mengada-ngada untuk semua pertanyaan ini. Selama 4 tahun kemarin aku tidak pernah bertanya tentang apapun. Benar katamu, kita hanya perlu menjalani seperti biasa.

Tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku memikirkan tentang kita. Aku ingin menjalani sesuatu yang serius. Aku sudah lelah bertemu secara sembunyi-sembunyi. Tidak bisa melakukan apapun denganmu secara bebas tanpa takut dimarahi oleh kedua orang tua kita.


Aku mencoba memejamkan mata berharap bisa lupa dengan percakapan tadi. Tapi tak bisa. Malah air mata yang berlomba-berlomba berhamburan dari pelupuk mata. Aku menginginkan jawaban tadi juga sekaligus merasa pedih karena jika nanti itu yang terjadi, aku lah orang pertama yang kalah. Aku yang tak akan bisa melepaskan diri dari kamu.

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

melupakanmu

Pergi Untuk Kembali, Selalu Saja Begitu...

tercerai berai sudah